obatbatuginjalalami.my.id – Selain COVID-19, tindakan hukum demam berdarah dengue (DBD) juga meningkat. Direktur Pencegahan juga Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Aspek Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi MPHM, memaparkan bahwa tahun ini, memang sebenarnya merupakan siklus 5 tahunan penyakit yang digunakan pertama kali ditemukan pada Indonesia pada 1968 ini.
“Tiap lima tahun ada lonjakan persoalan hukum dengue, berkaitan dengan fenomena El Nino. Sejak kita mendapat info dari BMKG mengenai El Nino kita secara langsung melakukan mitigasi untuk pencegahan DBD, dan juga hasilnya cukup memuaskan,” tuturnya.
Hal ini terlihat dari penurunan tindakan hukum dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143.000 tindakan hukum juga 1.236 kematian, sedangkan tahun ini hanya saja terjadi 85.900 tindakan hukum dan juga 683 kematian.
Secara garis besar, intervensi yang bisa saja dilakukan, untuk menekan dengue semdiri kata beliau ada tiga. Pertama adalah intervensi pada lingkungan, intervensi pada vektor (nyamuk), kemudian intervensi pada manusia.
Intervensi pada lingkungan misalnya dengan pemberantasan sarang nyamuk, dan juga intervensi pada manusia misalnya dengan vaksinasi juga memakai baju lengan panjang di dalam tempat endemis dengue.
Adapun intervensi pada vektos misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, kemudian fogging atau obat semprot sebagai insektisida.
“Intervensi vektor yang tersebut ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia,” tandas dr. Imran. Ia menjelaskan, telah dilakukan terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan perkara dengue.
Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia
Pilot project nyamuk ber-Wolbachia diadakan di tempat Yogyakarta. Wolbachia adalah bakteri alami yang dimaksud biasa hidup di tubuh serangga. Wolbachia jelas beliau tak mengubah karakter nyamuk. Tidak ada perbedaan bermakna antara nyamuk ber-Wolbachia di area wilayah intervensi dengan nyamuk alami di tempat wilayah kontrol.
“Sebelum kami melakukan penelitian yang disebutkan pada skala besar, kami lakukan dulu pengkajian selama enam bulan yang mana melibatkan 20 orang ahli dari berbagai bidang. Termasuk dalam antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” jelas dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D, Direktur Pusat Kesehatan Tropis Fakultas Kedokteran, Aspek Kesehatan Publik & Keperawatan UGM.
Berdasarkan literature review juga kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang digunakan sanggup terjadi adalah yang tersebut paling rendah, yang digunakan biasa kita temukan sehari-hari kemudian bisa saja diabaikan. Nyamuk ber-Wolbachia juga bukanlah rekayasa genetika.
“Untuk menyangkal hal ini, kita dapat merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, merek secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang mana diinfeksi kemudian genetic-modified mosquito,” tutur dr. Doni, begitu ia disapa.
Ia melanjutkan, nyamuk ber-Wolbachia juga tak merusak lingkungan, lantaran tidak ada terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex.
Sebaliknya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di dalam Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77% dan juga menurunkan kejadian rawat inap di tempat RS hingga 86%. Rerata nagka dengue nasional pun merosot drastic dibandingkan 30 tahun lalu.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, fogging turun hingga 85%. Ini adalah snagat menggemberikan sebab anggaran fogging dapat dialokasikan ke pengendalian penyakit lain,” ujar dr. Doni.
Studi di area beberapa negara lain juga menemukan bahwa nyamuk ber-Wolbachia efektif menekan nomor kejadian dengue. Selain itu, nyamuk ber-Wolbachia memberikan proteksi jangka panjang. Disayangkan, masih ada kegelisahan pada sebagian publik mengenai nyamuk ber-Wolbachia.
Terkait hal ini, Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M, dosen FKM UI lalu Ketua Umum Ikatan Ahli Bidang Kesehatan Publik Indonesia (IAKMI) menegaskan, tindakan yang digunakan diambil oleh pembuat kebijakan haruslah berdasarkan data juga bukti ilmiah, bukanlah opini.
Berbagai penelitian yang digunakan membuktikan khasiat serta keamanan nyamuk ber-Wolbachia selayaknya dijadikan landasan untuk melanjutkan pilot project ini ke kota-kota berikutnya.